Minggu, 13 April 2014

Marah



-Doel Kangpardi-


Ida, tolong panggilkan Asep, suruh kemari!” pinta Pak Wongso dari dalam ruangannya.

“Iya, Pak, sebentar saya panggilkan,” sahut Ida, sekretaris perusahaan ‘Minta Lama’ sembari beranjak dari tempat duduknya

Bergegas gadis cantik itu mencari orang yang dimaksud si Bos, Wongso Dikromo, ST, karena tak ingin kena semprot lagi. Melihat langkah-langkah lincahnya, tidak salah kalau sekretaris itu dikatakan tomboy dan enerjik. Tentu saja itu didukung pula dengan penampilan yang cenderung maskulin untuk seorang gadis, meskipun jilbab selalu melekat, tak urung juga penilaian itu melekat.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa menemukan Asep, karena gedung kantornya kecil bahkan sekilas mirip rumah tinggal. Yang dimaksud sedang sibuk mencari-cari sesuatu di ruang arsip.

“Sep, dicari Pak Wongso tuh, suruh menghadap.”

“Oh-ya, sebentar saya ke sana,” sahut pemuda berambut klimis itu sembari menata kertas-kertas yang sempat diserakkannya.

Sedikit tergopoh, Asep segera menuju ruang Pak Wongso. Sekilas tampak ekspresi khawatir menempel di wajahnya. Kulit muka kuning langsat itu tampak semburat kemerahan, mempertegas perasaannya.

“Ah, ada apa lagi ini? Jangan-jangan karena seringnya telat nih…” Asep hanya bisa bertanya pada gumamnya.

Sempat mengetuk pintu dua kali, pemuda bertubuh jangkung itu memberanikan diri dengan menarik nafas panjang.

“Permisi, Bapak memanggil saya?”

“Ya, masuk Sep. Silahkan duduk,” jawab Pak Wongso dengan nada datar. Tangannya terlihat sibut mencoret-coret kertas, dan ternyata sedang mengkonsep surat.

“Datang jam berapa tadi?” lanjutnya.

Deg! Wajah Asep kini langsung berubah pucat. Kulit kuning langsatnya terlihat memutih, seolah darahnya enggan mengalir ke wajah.

“Apa maksud Bapak?” dengan nada sedikit menanjak Asep memberanikan bertanya.

“Apakah keterlambatan saya ini menjadi masalah?”

Entah mengapa, tiba-tiba pemuda yang suka dengan warna hitam itu menunjukkan keberanian.

“Saya mengakui Pak, kalau saya sering terlambat dan Bapak selalu datang Jauh lebih pagi. Tapi, apakah Bapak juga selalu menghabiskan jam kerja di kantor?”

Pak Wongso menghentikan tulisannya sebentar, menatap Asep dengan tatapan datar, sejurus kemudian dilanjutkan tulisan itu. Masih dalam diam.

“Maaf Pak, bukannya saya berani dengan Bapak. Selama ini saya selalu pulang jauh lebih lambat dari jam seharusnya. Tapi Bapak? Baru tengah hari lewat sedikit saja sudah pulang. Ke dokterlah, ke sinilah, ke sana…,” makin tinggi nada pemuda pendiam itu bersuara.

“Saya, rekan-rekan di kantor ini, semua juga mahfum dengan Usia Bapak yang sudah kepala enam. Tapi tidak serta merta itu menjadi alasan untuk meninggalkan kami bekerja di sini. Bukan alasan juga bahwa setiap kami ataupun pelanggan ada perlu dengan Bapak pada siang hari harus datang ke rumah!”

Kembali Pak Wongso menjeda kesibukan, kali ini buku agenda yang diraihnya. Tangan kekar yang mulai keriput itu sibuk membolak-balik halaman-halaman agenda, mencari sesuatu.

“Bapak kan juga tahu, kalau keterlambatan saya bukan karena malas? Karena saya juga mencari pelanggan, jemput bola agar lembaga kita bisa bertahan… Yang tidak jemput bola saja dibiarkan, kenapa saya yang dipermasalahkan?”

Ida mengetuk pintu, sekejap didekatinya meja Pak Wongso. Map merah di tangan segera diserahkan.

“Ada e-mail dari Kantor Divre Pak, ini saya cetakkan sekalian untuk arsip,” ucapnya dengan ramah.

“Terima kasih Ida. Oh-ya, sekalian ini tolong diketik. Kalau sudah selesai, bawa lagi kemari, nanti saya koreksi.”

“Iya, Pak, masih ada lagi?”

“Itu saja dulu.”

Sejurus kemudian Ida berlalu ke luar ruangan, kali ini tangannya menenteng selembar kertas konsep surat.

“Kamu sehat Sep? Matamu merah, jangan-jangan kurang istirahat.”

“Sehat, Pak. Terima kasih, saya baik-baik saja,” jawab Asep. Kedua tangannya mengepal, dan semakin keras.

“Begini Sep, tadi dapat telepon dari Kepala Kantor Divre yang intinya beliau mengharap adanya regenerasi kepemimpinan di perusahaan kita. Salah satunya adalah memberi kesempatan pada karyawan karir untuk menempati jabatan strategis. Karena kita di sini sudah lama tidak mempunyai Kepala Seksi, saya memutuskan untuk menempatkanmu di posisi itu. Saya kira tidak sulit, karena selama ini kamu sudah menjadi Supervisor. Toh pekerjaan Kepala Seksi hanya setingkat di atas Supervisor,” terang Pak Wongso.

Gubrak! Serasa kepala Asep tertimpa lukisan dinding yang menempel di belakangnya. Mulutnya terbuka, hanya saja tak satupun kata yang terucap. Pikirannya bercampur aduk antara senang, kaget, khawatir, menyesal, semuanya menyerbu di kepala.

“Aaarrggghhh…, untung saja tadi aku hanya membatin,” kutuk Asep dalam hatinya.

-=selesai=-
Kakimerapi, 11/04/14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

yang tak tersisa

oleh: Doel Kangpardi   barangkali dunia mulai kehabisan katakata manakala hendak dongengkan polah pengabdi serakah meski seluruh anak ...