Selasa, 29 April 2014

HARI TAK 'KAN MATI*



-Doel Kangpardi-

Menjelang tengah hari, Umi Amira masih di atas ketinting. Gemericik air yang terbelah, menyanyi riang di gendang telinga menyatu padu dengan suara mesin menderu. Sayang sekali, suasana tersebut hanya bisa ia nikmati sendiri. Voucher wisata budaya yang didapat hanya berlaku untuk satu orang. Andai boleh mengajak teman pun tak berguna, karena suami dan anak-anak terlalu sibuk untuk sekadar meluangkan waktu, apalagi liburan bersama. Tidak hanya kali ini, momen penanda lima puluh satu tahun perjalanan hidup harus dilalui seorang diri.

“Ah, mungkin inilah harga yang harus kubayar untuk kesuksesan suami serta anak-anakku,” gumam wanita penggemar travelling itu.

Selang tak berapa lama, empat ketinting rombongan Umi Amira menepi. Tampak beberapa orang berdiri di bibir sungai menyambut kedatangan tamu-tamu dari kota Samarinda. Dengan cekatan mereka membantu wisatawan yang turun dari perahu-perahu motor kecil, dalam balutan sikap ramah serta wajah cerah.

“Selamat datang Bapak dan Ibu sekalian, silakan untuk bersantai sejenak sebelum melanjutkan perjalanan wisata budaya ini,” ucap seorang Tour Guide sembari mengarahkan rombongan menuju tempat transit.

Keberadaan Umi Amira dalam wisata budaya tidak lain karena hobi menulis yang ditekuni wanita pecinta bunga mawar itu. Meski harus berangkat di hari jadi tanpa ditemani keluarga maupun kerabat, tak menjadikan semangatnya padam. Kesempatan mengenal salah satu budaya suku asli Indonesia menjadi dorongan yang luar biasa.

Suku Dayak Kenyah, begitulah tour guide menyebutkan lokasi saat mengawali panduannya dalam wisata kali ini.

“Bangunan ini disebut Uma Da’du atau Lamin, yaitu rumah asli peninggalan Dayak Kenyah yang masih utuh. Rumah adat ini dibuat dari kayu ulin, dan beratap sirap,” dengan runtut pemandu itu bercerita.

[Lamin dihiasi lukisan daun paku simetris dengan aneka warna. Bentuk tersebut sebagian menyerupai tato di tangan kaum wanitanya], Umi Amira dengan seksama mencatat. Dalam benak langsung mereka-reka sebentuk tulisan, tentu saja dengan latar dan isi sesuai catatan-catatannya.

[Kaum wanita suku Dayak Kenyah terkenal cantik-cantik, berkulit putih. Kecuali bertato, mereka juga dapat dikenali dengan saratnya anting gelang ditelinga. Masyarakatnya juga dikenal mahir membuat manik-manik dan pemahat handal patung Totem.]

Melirik jam tangan, “baiklah Bapak Ibu sekalian, tiba saatnya untuk istirahat dan makan siang. Setelah ini, tepatnya jam 14.00 WITA akan ada sebuah pertunjukan untuk mengakhiri wisata hari ini. Silakan menuju rumah makan di ujung jalan, sekaligus yang hendak menunaikan ibadah shalat, kami sediakan Mushalla di dekatnya,” terang si pemandu.

Selesai istirahat dan makan siang, selanjutnya rombongan menuju desa Long Bagun. Menurut panduan, mestinya akan ada dua penampilan tari tradisional, tarian yang biasa disajikan pada acara khusus semisal pesta perkawinan. Sebenarnya ada juga satu desa lain yang biasanya menyajikannya, yaitu desa Long Iram. Namun dengan berbagai pertimbangan hanya dipilih salah satu saja.

Benar saja, sesampai di desa Long Bagun rombongan disambut dengan tarian Burung Enggang. Umi Amira beserta yang lain menunjukkan wajah-wajah ceria. Sembari mencari tempat yang paling nyaman, tidak sedikit peserta wisata yang beraksi dengan kamera masing-masing, tidak ingin kehilangan momen.

“Sebelum penampilan kedua, kami mohon kesediaan Ibu Amira untuk bergabung dengan saya di sini,” tanpa disangka, pemandu wisata memanggil Umi Amira.

“Ah, ada apa ini?” Umi Amira hanya membatin seraya melangkahkan kaki dengan ragu menuju pemandu wisata berdiri.

Wajah yang biasanya ceria itu menyiratkan kebingungan. Tak ayal, langkah kaki terayun juga, bersanding dengan seribu tanya. Di sela langkah, tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenalnya

“Mohon antensinya sebentar, Bapak dan Ibu sekalian, baru saja saya dapat kabar ada di antara kita yang kehilangan sesuatu. Dan ini ada hubungannya dengan Ibu di samping saya ini.”

Deg …!
Seketika wajah perempuan itu memucat, mulut sedikit terngaga mengekspresikan ketidak percayaan.

“A-ada apa ini? A-a-apa yang telah saya lakukan?” Ucapnya menjadi terbata di antara bingung, takut dan marah karena merasa tidak melakukan hal yang salah.

Belum genap senafas ditariknya, secara tiba-tiba,

 “[Dan Hari Tak Pernah Mati
Denting
Detak hari menyorak
Sambut bah’gia himpun semarak
Memeluk hati merengkuh sanak, pun sepinak
Menghitung haru berbalut waktu-waktu, lima puluh satu
Cinta birumu merengkuh segala rindu, menderu setiap langkah syahdu

Sedan?
Tak perlu kau hirau, pun merisau; selebihnya tak perlu igau
Ijinkan mimpi setia menari, menggoda mentari setiap pagi]”

Mendadak terhenyak, ya—ia sadar bahwa hari ini telah kehilangan setahun lagi—setelah
lima puluh tahun mengarungi hidup. Lima puluh satu tahun sudah berlalu dari hidupnya—hilang.

Hatinya bersorak, sangat yakin bahwa suara itu tidak lain adalah Attar, putra kedua Umi Amira. Dan benar, begitu membalikkan tubuh, dilihatnya sang putra mendekat. Tangan kanannya memegang pengeras suara dan di tangan kiri seikat bunga. Berturut turut di belakangnya Abi Wongso sang suami tercinta, Abdul sang anak sulung serta Rahma si bungsu.
Umi Amira masih terdiam dengan mulut menganga, seolah tak percaya. Sekali dikucek matanya, memastikan ini bukan mimpi, ya—ini benar-benar bukan mimpi.

-=selesai=-

Kakimerapi, 18/04/14
*revisi 19/04/14, 29/04/14


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

yang tak tersisa

oleh: Doel Kangpardi   barangkali dunia mulai kehabisan katakata manakala hendak dongengkan polah pengabdi serakah meski seluruh anak ...