“Maling…! Maliiing…!!”
“Orangnya lari ke selatan, masuk kuburan! Cepat kepung dia!”
Orang-orang berlarian, cahaya lampu senter menari-nari menghantam
pepohonan dan rumah warga. Tariannya mengiringi hiruk pikuk warga yang
bertebaran di sekitar kuburan. Tanpa tahu persis siapa jadi komandan
semua warga langsung membentuk lingkaran, meski tak sebundar bulan
purnama yang beberapa malam lalu telah lewat, mengepung rapat tanah
pekuburan. Masih terdengar bunyi kentongan bertalu, tanpa kenal lelah
berteriak memecah malam di sela-sela teriakan warga.
“Jangan sampai lolos…!”
“Dia masuk cungkup! Dia masuk cungkup!” masih terdengar suara-suara bersahutan saling mengarahkan.
Kepungan warga semakin rapat dan tanah pekuburan tanpa pagar itu penuh
dengan warga yang marah. Dinginnya malam seolah hilang tertelan amarah
dan keringat. Kepungan semakin menciut, dan semua orang mengarah pada
satu-satunya cungkup yang tampak berdiri kokoh diantara batu nisan.
Cungkup keramat itu, yang selama ini ditakuti warga, seketika menjadi
medan pertempuran warga. Meskipun musuh mereka hanya satu orang, dan
berpuluh-puluh warga bersemangat ingin menghabisinya.
***
Adalah lik Darmo, buruh tani yang hidup dari tetesan keringat di sawah
para tuan tanah. Ayah dari dua anak yang masih balita, namun wajahnya
tampak jauh lebih tua dari umurnya. Kerutan wajah menyiratkan keletihan,
dengan kulit hitam menggambarkan panasnya terik matahari di tengah
persawahan, legam. Suami dari wanita yang tak lagi begitu sabar menunggu
datangnya cahaya di hari-hari gelap ekonomi keluarganya.
Ramadhan
telah lewat purnama beberapa hari, dan lik Darmo masih setia pada
kesabarannya menanti permintaan untuk bekerja. Keahliannya tidak jauh
dari kedua orang tuanya, bertani, setelah beberapa tahun lewat ia di PHK
dari perusahaan tempatnya menggantungkan hidup. Hanya saja, lelaki yang
kian nampak renta itu tak seberuntung petani-petani lain dikampungnya.
Sepetak sawahnya tak cukup memberi pilihan untuk menghidupi keluarga
berencana yang diikutinya sejak dua tahun lalu.
“Pakne, mbok ya
ndang piye gitu lho!” ucap istrinya dengan gusar, “apa ndak kasihan
sama Letri dan Sino? Lebaran sudah dekat dan kita belum bisa beli baju
baru buat mereka. ”
“Mau gimana lagi to Bune? Kamu tahu sendiri
to, padi kita mratak wae belum,” lik Darmo meminta pemakluman istrinya,
“lagi musim paceklik gini, ndak ada orang yang butuh tenagaku. Sing
sabar to Bune…nanti lakyo ada rejeki.”
“Sampe kapan Pakne? Mbok yo usaha gitu, pinjam sama mas Karjo kae lho, atau sama yang laen…”
“Isin Bune…, hutang kita saja belum lunas kok! ”
“Tapi Lebaran semakin dekat, Pakne! Toples-toples juga masih kosong.
Memangnya pantes, toples-toples kita diisi kerikil untuk nyuguh tamu?”
Terdengar adzan Isya dari Musholla. Lik Darmo nampak membetulkan kain
sarungnya sambil meladeni istrinya yang masih saja grundelan .
“Aku mau ke Musholla dulu, sholat Isya. Kamu ndak ikut Bune?”
“Hallah! Sholat terus yang dipikir, mbok ya anake itu dipikirkan! Tiap hari sholat, nyatanya kita masih juga miskin…”
“Astaghfirulloh… nyebut Bune, eling! Sudah, aku berangkat dulu, assalamu’alaikum.”
Lik Darmo segera berlalu, langkahnya agak tergesa. Tak ingin ia
ketinggalan sholat Isya dan Tarawih yang sudah setangah Ramadhan lebih
ia jalani tanpa putus.
Selesai Tarawih lik Darmo tidak langsung
pulang. Bersama beberapa jamaah lainnya, mereka bertadarus AlQuran di
Musholla hingga mendekati tengah malam. Begitu tadarus selesai, lik
Darmo segera mengayunkan kakinya meninggalkan Musholla, sendirian. Malam
begitu dingin, seperti malam-malam sebelumnya di musim kemarau. Tubuh
kurus itu berjalan sedikit gontai, seolah tak ada semangat untuk segera
pulang menantikan sahur mengawali hari keesokannya.
Lik darmo
melamun, tidak menyadari kaki melangkah membawa tubuh menjauh, bukan
menuju rumah. Melewati lorong-lorong kampung yang senyap, remang oleh
cahaya rembulan sisa purnama beberapa malam lalu. Pikiran Lik Darmo
menerawang, teringat kata-kata istrinya. Benar juga pikirnya, meskipun
dicobanya untuk bisa bersabar, namun gundah hati masih saja terasa. Tak
tega rasanya melihat kedua buah hatinya tak berbaju baru di lebaran
nanti. Tak terbayangkan pula jika tetangga dan kerabatnya datang
silaturahmi, tak ada suguhan tersedia untuk menjamu.
“Krrruuuukkkk…..! Krrruuuuukkkk….!”
Sesuatu bersuara di atas dahan pohon rambutan. Lik Darmo menghentikan langkahnya, menengok kiri dan kanan, sepi.
“Hmmm, belum saatnya sahur, orang-orang pasti sedang tidur,” pikir Lik Darmo “para peronda juga belum keliling kampong.”
Lik Darmo yakin, suara yang didengarnya tadi adalah ayam yang ada di
pohon rambutan. Ia berani memastikan, kalau ayam tersebut milik Mas
Karjo, juragan sayur yang baik hati.
“Tak mengapa kalau aku
ambil seekor ayamnya,” bisik Lik Darmo pada dirinya sendiri, “toh Mas
karjo juga ndak akan plego kalau ayamnya berkurang seekor. Aku yakin
Mas Karjo akan merelakannya.”
Segera Lik Darmo melepas kain
sarungnya, kemudian mengikatkannya di kepala layaknya ninja yang hendak
bertempur. Hanya saja di punggung Lik Darmo tidak terlihat gagang
samurai seperti milik Hatori. Ia bersiap mendekati pohon rambutan di
tepi pekarangan luas milik Mas Karjo. Jantungnya berdegub lebih kencang,
mendahului keinginan Lik Darmo untuk segera menyelesaikan misinya.
Tangan kurus hampir tak berdaging itu sudah menyentuh pohon, kepalanya
kembali tengok kiri kanan layaknya orang hendak menyeberang jalan dan
memastikan tak ada yang lewat.
“Darmo, jangan nekat kamu!”
Lik Darmo mematung, suara itu menempel di gendang telinga kanan, mengagetkannya.
“Ndak apa-apa Mo…, teruskan saja, ambil ayam itu!” satu lagi suara,
namun kali ini terdengar dari kiri, mendukung Lik Darmo meneruskan
niatnya.
“Eling Mo, nyebut! Ayam itu bukan hak kamu. Apa ndak
eman-eman dengan ibadahmu selama ini? Kamu akan menodai ibadahmu di
bulan suci.”
“Hallah, tenang saja Mo, masih banyak waktu untuk
bertobat, tahun depan masih ada Ramadhan. Sekali ini saja! Ingat
anak-anakmu belum punya baju baru….”
“Jangan Darmo, apa kamu yakin masih punya waktu bertobat setelah ini? Apa kamu yakin umurmu sampai Ramadhan tahun depan?”
“Tapi toples-toples dalam lemarimu masih kosong Mo, belum terisi. Ndak
malu kalau nanti juga ndak bisa bayar zakat? Jangan lupa kata pak kyai,
bukankah ada juga perintah untuk mengambil sebagian harta orang-orang
kaya untuk diberikan pada yang miskin? Hitung-hitung kamu mengambil
bagian dari zakatnya Mas Karjo”
“Istighfar Darmo! Istighfar...!
masih banyak cara lain yang bisa kamu pilih, masih banyak jalan lain
yang bisa kamu lalui, dan yang pasti bukan yang ini.”
“Ayolah
Darmo! Mantapkan hatimu, sekarang yang penting dapat duit. Untuk beli
baju anak-anakmu, untuk beli beras zakat fitrah, untuk membeli makanan
agar tertutupi rasa malumu jika sedulur-sedulurmu datang dan harus
disuguhi makanan, bukan toples kosong.”
Lik Darmo nampak termangu
sesaat, namun tak urung juga ia memanjat dahan rambutan itu. Beruntung
incarannya ada tidak jauh dari dahan pertama dipanjatnya. Hati-hati
sekali didekatinya ayam itu, sampai yakin betul akan bisa menangkapnya
dengan sekali raih. Namun belum sempat lik Darmo mengulurkan tangannya,
tiba-tiba....
“Maling…! Maling…! Maling…!”
Terdengar
teriakan dari kejauhan, disambut seruan-seruan serupa dari arah lain.
Lik Darmo kaget bukan main, dan tanpa pikir panjang segera ia melompat
turun dari pohon dan,
“ Gedebukkkk…!”
Segera ia bangkit
dan lari sekencang-kencangnya mencari tempat persembunyian. Terbersit
dalam kekalutan pikirannya kuburan angker di kampungnya dan Lik Darmo
bermaksud sembunyi disana.
“Maling…! Maliiing…..!!” suara itu semakin mendekati Lik Darmo.
Sepertinya orang sekampung tumpah ruah mengejar dan berteriak
bersahutan. Orang-orang berhamburan kearah lik Darmo, seperti puluhan
fans mengejar idolanya, namun kali ini dengan amarah masing-masing.
Cahaya lampu senter bersahutan menghantam pepohonan dan rumah warga.
Tariannya mengiringi hiruk pikuk warga yang bertebaran di sekitar
kuburan.
“Orangnya lari ke selatan, masuk kuburan! Cepat kepung dia!”
”Sialan, mereka tahu tujuanku”, umpat Lik Darmo dalam hati.
Segera ia memutar arah menjauh dari kuburan. Namun baru beberapa langkah kakinya mengayun, seseorang meneriakinya,
”Darmo, mau kemana kamu? Semua orang menuju kuburan kenapa kamu malah lari ke sana?”
Lik Darmo memperlambat larinya, wajahnya tampak kebingungan. Banyak
warga yang semula ia pikir mengejarnya tetap berlari menuju kuburan,
bahkan ketika berpapasan dengannya. Ia semakin tidak mengerti, sampai
kakinya benar-benar berhenti dan semua orang masih berlarian sambil
berteriak maling menuju kuburan.
”Kenapa bengong? Ayo cepat ke kuburan, jangan sampai pencurinya kabur...”, seseorang meneriaki sambil berlari.
”Astaghfirullah..! Terima kasih ya Alloh.....!” gumam lik darmo kembali
berlari, ia segera bergabung dengan yang lain mengejar maling yang
rupanya sudah terpojok dalam angkernya tanah pekuburan.
-=000=-
* versi Revisi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar