Selasa, 29 April 2014

HARI TAK 'KAN MATI*



-Doel Kangpardi-

Menjelang tengah hari, Umi Amira masih di atas ketinting. Gemericik air yang terbelah, menyanyi riang di gendang telinga menyatu padu dengan suara mesin menderu. Sayang sekali, suasana tersebut hanya bisa ia nikmati sendiri. Voucher wisata budaya yang didapat hanya berlaku untuk satu orang. Andai boleh mengajak teman pun tak berguna, karena suami dan anak-anak terlalu sibuk untuk sekadar meluangkan waktu, apalagi liburan bersama. Tidak hanya kali ini, momen penanda lima puluh satu tahun perjalanan hidup harus dilalui seorang diri.

“Ah, mungkin inilah harga yang harus kubayar untuk kesuksesan suami serta anak-anakku,” gumam wanita penggemar travelling itu.

Selang tak berapa lama, empat ketinting rombongan Umi Amira menepi. Tampak beberapa orang berdiri di bibir sungai menyambut kedatangan tamu-tamu dari kota Samarinda. Dengan cekatan mereka membantu wisatawan yang turun dari perahu-perahu motor kecil, dalam balutan sikap ramah serta wajah cerah.

“Selamat datang Bapak dan Ibu sekalian, silakan untuk bersantai sejenak sebelum melanjutkan perjalanan wisata budaya ini,” ucap seorang Tour Guide sembari mengarahkan rombongan menuju tempat transit.

Keberadaan Umi Amira dalam wisata budaya tidak lain karena hobi menulis yang ditekuni wanita pecinta bunga mawar itu. Meski harus berangkat di hari jadi tanpa ditemani keluarga maupun kerabat, tak menjadikan semangatnya padam. Kesempatan mengenal salah satu budaya suku asli Indonesia menjadi dorongan yang luar biasa.

Suku Dayak Kenyah, begitulah tour guide menyebutkan lokasi saat mengawali panduannya dalam wisata kali ini.

“Bangunan ini disebut Uma Da’du atau Lamin, yaitu rumah asli peninggalan Dayak Kenyah yang masih utuh. Rumah adat ini dibuat dari kayu ulin, dan beratap sirap,” dengan runtut pemandu itu bercerita.

[Lamin dihiasi lukisan daun paku simetris dengan aneka warna. Bentuk tersebut sebagian menyerupai tato di tangan kaum wanitanya], Umi Amira dengan seksama mencatat. Dalam benak langsung mereka-reka sebentuk tulisan, tentu saja dengan latar dan isi sesuai catatan-catatannya.

[Kaum wanita suku Dayak Kenyah terkenal cantik-cantik, berkulit putih. Kecuali bertato, mereka juga dapat dikenali dengan saratnya anting gelang ditelinga. Masyarakatnya juga dikenal mahir membuat manik-manik dan pemahat handal patung Totem.]

Melirik jam tangan, “baiklah Bapak Ibu sekalian, tiba saatnya untuk istirahat dan makan siang. Setelah ini, tepatnya jam 14.00 WITA akan ada sebuah pertunjukan untuk mengakhiri wisata hari ini. Silakan menuju rumah makan di ujung jalan, sekaligus yang hendak menunaikan ibadah shalat, kami sediakan Mushalla di dekatnya,” terang si pemandu.

Selesai istirahat dan makan siang, selanjutnya rombongan menuju desa Long Bagun. Menurut panduan, mestinya akan ada dua penampilan tari tradisional, tarian yang biasa disajikan pada acara khusus semisal pesta perkawinan. Sebenarnya ada juga satu desa lain yang biasanya menyajikannya, yaitu desa Long Iram. Namun dengan berbagai pertimbangan hanya dipilih salah satu saja.

Benar saja, sesampai di desa Long Bagun rombongan disambut dengan tarian Burung Enggang. Umi Amira beserta yang lain menunjukkan wajah-wajah ceria. Sembari mencari tempat yang paling nyaman, tidak sedikit peserta wisata yang beraksi dengan kamera masing-masing, tidak ingin kehilangan momen.

“Sebelum penampilan kedua, kami mohon kesediaan Ibu Amira untuk bergabung dengan saya di sini,” tanpa disangka, pemandu wisata memanggil Umi Amira.

“Ah, ada apa ini?” Umi Amira hanya membatin seraya melangkahkan kaki dengan ragu menuju pemandu wisata berdiri.

Wajah yang biasanya ceria itu menyiratkan kebingungan. Tak ayal, langkah kaki terayun juga, bersanding dengan seribu tanya. Di sela langkah, tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenalnya

“Mohon antensinya sebentar, Bapak dan Ibu sekalian, baru saja saya dapat kabar ada di antara kita yang kehilangan sesuatu. Dan ini ada hubungannya dengan Ibu di samping saya ini.”

Deg …!
Seketika wajah perempuan itu memucat, mulut sedikit terngaga mengekspresikan ketidak percayaan.

“A-ada apa ini? A-a-apa yang telah saya lakukan?” Ucapnya menjadi terbata di antara bingung, takut dan marah karena merasa tidak melakukan hal yang salah.

Belum genap senafas ditariknya, secara tiba-tiba,

 “[Dan Hari Tak Pernah Mati
Denting
Detak hari menyorak
Sambut bah’gia himpun semarak
Memeluk hati merengkuh sanak, pun sepinak
Menghitung haru berbalut waktu-waktu, lima puluh satu
Cinta birumu merengkuh segala rindu, menderu setiap langkah syahdu

Sedan?
Tak perlu kau hirau, pun merisau; selebihnya tak perlu igau
Ijinkan mimpi setia menari, menggoda mentari setiap pagi]”

Mendadak terhenyak, ya—ia sadar bahwa hari ini telah kehilangan setahun lagi—setelah
lima puluh tahun mengarungi hidup. Lima puluh satu tahun sudah berlalu dari hidupnya—hilang.

Hatinya bersorak, sangat yakin bahwa suara itu tidak lain adalah Attar, putra kedua Umi Amira. Dan benar, begitu membalikkan tubuh, dilihatnya sang putra mendekat. Tangan kanannya memegang pengeras suara dan di tangan kiri seikat bunga. Berturut turut di belakangnya Abi Wongso sang suami tercinta, Abdul sang anak sulung serta Rahma si bungsu.
Umi Amira masih terdiam dengan mulut menganga, seolah tak percaya. Sekali dikucek matanya, memastikan ini bukan mimpi, ya—ini benar-benar bukan mimpi.

-=selesai=-

Kakimerapi, 18/04/14
*revisi 19/04/14, 29/04/14


Jumat, 18 April 2014

Ku Nanti Kembalimu



Oleh: Doel Kangpardi


Kecut terasa menyesak dada
Angankan hadirmu menutup luka
Memompa asa
Berbagi kesah pun rasa
Tinggal mimpiku apalah daya


nikmat senyummu kembali  terangan
sapa sayangmu membayang kenangan
lembut belaimu menggidik bayangan
menjaring kisah
hentikan langkah


kenapa waktu masih saja berlalu
menderu kalbu
mengigau  rindu
memendam dendam
membungkam diam


menjauh
dalam dekapmu kau simpan sauh
dalam dekapmu terjaga diri,
sejati
dalam dekapmu tersimpan nurani


dalam pergimu ku nikmati suka
kini
dalam kenangmu ku nikmati duka
satu ruangku hampa terasa
satu sudutku perih tercipta


bingung
dalam limbung ku nikmati bingung
dalam bimbang ku lelah menimbang
bingung
nurani terkubur linglung


tanpa hadirmu ku ukir hampa
tiada rasa
tanpa cerita
tanpa hadirmu kelu geliatku
tanpa hadirmu, tiada kuasa berasa


kan ku buka peluk
kan ku sambut sauh
kan ku rengkuh meski jauh
kan ku urai tali teringkuk
kan ku nanti kembalimu terlabuh


kusadar kini
hadirmu membuncah arti
hadirmu melabuhkan teduh
hadirmu, semangat kan penuh
hadirmu? Bayangan pun tinggal separuh


sejatimu begitu terbekas
guratanmu tersembul
jelas
kau tinggalkan nuraniku dalam kebas



untuk ‘sahabat’ yang terlipat sekarat,Kakimerapi, 5 maret 2014

Selasa, 15 April 2014

Petir*

Oleh: Doel Kangpardi


Ah, sial! Tinggal finishing kenapa turun hujan?“ gumam Ali sembari memandang titik-titik hujan menyerbu halaman.

Tangannya menggenggam segulung kabel DX ukuran 2x16 mm², berdiri termangu di teras. Sesaat badannya membungkuk sembari menengadahkan wajah, menyelidik ke ujung tiang listrik. Rona wajah berkulit sawo matang itu menyiratkan kecewa, dan menilik gestur tubuh, memperlihatkan putus asa. Kalau pekerjaan tidak selesai hari ini berarti harus dilakukan esok hari. Dan itu berarti kerugian, karena waktunya akan habis terbuang untuk pulang dan balik lagi hanya untuk menyelesaikan sambungan rumah itu. Ditambah lagi, lokasinya saat ini cukup terpencil dan tidak mudah dijangkau.

Gerimis masih menyelimuti hari, dan Ali meniti satu demi satu anak tangga menuju puncak tiang listrik. Tenggat waktu harus dikejarnya, agar tidak dua kali kerja. Sesampai di ujung tangga, sejenak ia edarkan pandangan sekedar menikmati jatuhan rintik hujan. Ali menarik napas dalam-dalam, sembari mengeluarkan tang kombinasi dari sabuk peralatan. Dengan sangat hati-hati diraihnya ujung kabel kemudian diarahkan pada titik sambungan dengan tangan kiri.

“Hati-hati mas, jangan sampai salah pegang!” teriak Ibud dari bawah bernada penuh kekhawatiran.

Ali tidak menyahut, konsentrasinya terpusat pada pekerjaan.

“Baiklah, semakin cepat ku kerjakan semakin cepat pula ini akan berakhir, ” gumam pria jangkung itu sembari menarik nafas dalam-dalam.

Kembali diarahkannya kabel di tangan kiri menuju titik sadap JTR. Belum lagi kabel itu menyentuh titik sambungan, tiba-tiba,

“ Jedarrr…!”.

Reflek langsung bereaksi, ditariknya tangan kiri menjauhkan kabel dari jaringan listrik sembari menundukkan kepala. Jantungnya berdegup sangat kencang, kedua tanganpun gemetar, terkejut bukan main. Belum sempat ia mencari tahu apa yang terjadi, kembali terdengar,

“Jedarrr…!”

Kepalanya kembali tertunduk, suara ledakan itu terasa sangat dekat dengan telinga. Setelah beberapa saat tidak terjadi apa-apa, Ali memberanikan diri untuk melihat keadaan sekitar. Belum genap menengok, ia tersentak kaget. Tenggorokannya tercekat, seluruh tubuh terasa kaku, kepala terasa berat, dan pandangan seketika gelap. Beruntung sabuk pengaman masih terikat, dan tiang listrik masih kokoh menahan gempal itu. Di bawah, terlihat Ibud tergeletak dengan tubuh seperti terpanggang, gosong. Tak dinyana, suara petir yang kedua ternyata mengenai temannya.


-=selesai=-
*versi revisi,

Minggu, 13 April 2014

Maling*


Oleh: Doel Kangpardi


Maling…! Maliiing…!!”

“Orangnya lari ke selatan, masuk kuburan! Cepat kepung dia!”

Orang-orang berlarian, cahaya lampu senter menari-nari menghantam pepohonan dan rumah warga. Tariannya mengiringi hiruk pikuk warga yang bertebaran di sekitar kuburan. Tanpa tahu persis siapa jadi komandan semua warga langsung membentuk lingkaran, meski tak sebundar bulan purnama yang beberapa malam lalu telah lewat, mengepung rapat tanah pekuburan. Masih terdengar bunyi kentongan bertalu, tanpa kenal lelah berteriak memecah malam di sela-sela teriakan warga.

“Jangan sampai lolos…!”

“Dia masuk cungkup! Dia masuk cungkup!” masih terdengar suara-suara bersahutan saling mengarahkan.

Kepungan warga semakin rapat dan tanah pekuburan tanpa pagar itu penuh dengan warga yang marah. Dinginnya malam seolah hilang tertelan amarah dan keringat. Kepungan semakin menciut, dan semua orang mengarah pada satu-satunya cungkup yang tampak berdiri kokoh diantara batu nisan. Cungkup keramat itu, yang selama ini ditakuti warga, seketika menjadi medan pertempuran warga. Meskipun musuh mereka hanya satu orang, dan berpuluh-puluh warga bersemangat ingin menghabisinya.

***

Adalah lik Darmo, buruh tani yang hidup dari tetesan keringat di sawah para tuan tanah. Ayah dari dua anak yang masih balita, namun wajahnya tampak jauh lebih tua dari umurnya. Kerutan wajah menyiratkan keletihan, dengan kulit hitam menggambarkan panasnya terik matahari di tengah persawahan, legam. Suami dari wanita yang tak lagi begitu sabar menunggu datangnya cahaya di hari-hari gelap ekonomi keluarganya.
Ramadhan telah lewat purnama beberapa hari, dan lik Darmo masih setia pada kesabarannya menanti permintaan untuk bekerja. Keahliannya tidak jauh dari kedua orang tuanya, bertani, setelah beberapa tahun lewat ia di PHK dari perusahaan tempatnya menggantungkan hidup. Hanya saja, lelaki yang kian nampak renta itu tak seberuntung petani-petani lain dikampungnya. Sepetak sawahnya tak cukup memberi pilihan untuk menghidupi keluarga berencana yang diikutinya sejak dua tahun lalu.

“Pakne, mbok ya ndang piye gitu lho!” ucap istrinya dengan gusar, “apa ndak kasihan sama Letri dan Sino? Lebaran sudah dekat dan kita belum bisa beli baju baru buat mereka. ”

“Mau gimana lagi to Bune? Kamu tahu sendiri to, padi kita mratak wae belum,” lik Darmo meminta pemakluman istrinya, “lagi musim paceklik gini, ndak ada orang yang butuh tenagaku. Sing sabar to Bune…nanti lakyo ada rejeki.”

“Sampe kapan Pakne? Mbok yo usaha gitu, pinjam sama mas Karjo kae lho, atau sama yang laen…”

“Isin Bune…, hutang kita saja belum lunas kok! ”

“Tapi Lebaran semakin dekat, Pakne! Toples-toples juga masih kosong. Memangnya pantes, toples-toples kita diisi kerikil untuk nyuguh tamu?”

Terdengar adzan Isya dari Musholla. Lik Darmo nampak membetulkan kain sarungnya sambil meladeni istrinya yang masih saja grundelan .

“Aku mau ke Musholla dulu, sholat Isya. Kamu ndak ikut Bune?”

“Hallah! Sholat terus yang dipikir, mbok ya anake itu dipikirkan! Tiap hari sholat, nyatanya kita masih juga miskin…”

“Astaghfirulloh… nyebut Bune, eling! Sudah, aku berangkat dulu, assalamu’alaikum.”

Lik Darmo segera berlalu, langkahnya agak tergesa. Tak ingin ia ketinggalan sholat Isya dan Tarawih yang sudah setangah Ramadhan lebih ia jalani tanpa putus.

Selesai Tarawih lik Darmo tidak langsung pulang. Bersama beberapa jamaah lainnya, mereka bertadarus AlQuran di Musholla hingga mendekati tengah malam. Begitu tadarus selesai, lik Darmo segera mengayunkan kakinya meninggalkan Musholla, sendirian. Malam begitu dingin, seperti malam-malam sebelumnya di musim kemarau. Tubuh kurus itu berjalan sedikit gontai, seolah tak ada semangat untuk segera pulang menantikan sahur mengawali hari keesokannya.

Lik darmo melamun, tidak menyadari kaki melangkah membawa tubuh menjauh, bukan menuju rumah. Melewati lorong-lorong kampung yang senyap, remang oleh cahaya rembulan sisa purnama beberapa malam lalu. Pikiran Lik Darmo menerawang, teringat kata-kata istrinya. Benar juga pikirnya, meskipun dicobanya untuk bisa bersabar, namun gundah hati masih saja terasa. Tak tega rasanya melihat kedua buah hatinya tak berbaju baru di lebaran nanti. Tak terbayangkan pula jika tetangga dan kerabatnya datang silaturahmi, tak ada suguhan tersedia untuk menjamu.

“Krrruuuukkkk…..! Krrruuuuukkkk….!”

Sesuatu bersuara di atas dahan pohon rambutan. Lik Darmo menghentikan langkahnya, menengok kiri dan kanan, sepi.

“Hmmm, belum saatnya sahur, orang-orang pasti sedang tidur,” pikir Lik Darmo “para peronda juga belum keliling kampong.”

Lik Darmo yakin, suara yang didengarnya tadi adalah ayam yang ada di pohon rambutan. Ia berani memastikan, kalau ayam tersebut milik Mas Karjo, juragan sayur yang baik hati.

“Tak mengapa kalau aku ambil seekor ayamnya,” bisik Lik Darmo pada dirinya sendiri, “toh Mas karjo juga ndak akan plego kalau ayamnya berkurang seekor. Aku yakin Mas Karjo akan merelakannya.”

Segera Lik Darmo melepas kain sarungnya, kemudian mengikatkannya di kepala layaknya ninja yang hendak bertempur. Hanya saja di punggung Lik Darmo tidak terlihat gagang samurai seperti milik Hatori. Ia bersiap mendekati pohon rambutan di tepi pekarangan luas milik Mas Karjo. Jantungnya berdegub lebih kencang, mendahului keinginan Lik Darmo untuk segera menyelesaikan misinya.

Tangan kurus hampir tak berdaging itu sudah menyentuh pohon, kepalanya kembali tengok kiri kanan layaknya orang hendak menyeberang jalan dan memastikan tak ada yang lewat.

“Darmo, jangan nekat kamu!”

Lik Darmo mematung, suara itu menempel di gendang telinga kanan, mengagetkannya.

“Ndak apa-apa Mo…, teruskan saja, ambil ayam itu!” satu lagi suara, namun kali ini terdengar dari kiri, mendukung Lik Darmo meneruskan niatnya.

“Eling Mo, nyebut! Ayam itu bukan hak kamu. Apa ndak eman-eman dengan ibadahmu selama ini? Kamu akan menodai ibadahmu di bulan suci.”

“Hallah, tenang saja Mo, masih banyak waktu untuk bertobat, tahun depan masih ada Ramadhan. Sekali ini saja! Ingat anak-anakmu belum punya baju baru….”

“Jangan Darmo, apa kamu yakin masih punya waktu bertobat setelah ini? Apa kamu yakin umurmu sampai Ramadhan tahun depan?”

“Tapi toples-toples dalam lemarimu masih kosong Mo, belum terisi. Ndak malu kalau nanti juga ndak bisa bayar zakat? Jangan lupa kata pak kyai, bukankah ada juga perintah untuk mengambil sebagian harta orang-orang kaya untuk diberikan pada yang miskin? Hitung-hitung kamu mengambil bagian dari zakatnya Mas Karjo”

“Istighfar Darmo! Istighfar...! masih banyak cara lain yang bisa kamu pilih, masih banyak jalan lain yang bisa kamu lalui, dan yang pasti bukan yang ini.”

“Ayolah Darmo! Mantapkan hatimu, sekarang yang penting dapat duit. Untuk beli baju anak-anakmu, untuk beli beras zakat fitrah, untuk membeli makanan agar tertutupi rasa malumu jika sedulur-sedulurmu datang dan harus disuguhi makanan, bukan toples kosong.”

Lik Darmo nampak termangu sesaat, namun tak urung juga ia memanjat dahan rambutan itu. Beruntung incarannya ada tidak jauh dari dahan pertama dipanjatnya. Hati-hati sekali didekatinya ayam itu, sampai yakin betul akan bisa menangkapnya dengan sekali raih. Namun belum sempat lik Darmo mengulurkan tangannya, tiba-tiba....

“Maling…! Maling…! Maling…!”

Terdengar teriakan dari kejauhan, disambut seruan-seruan serupa dari arah lain. Lik Darmo kaget bukan main, dan tanpa pikir panjang segera ia melompat turun dari pohon dan,

“ Gedebukkkk…!”

Segera ia bangkit dan lari sekencang-kencangnya mencari tempat persembunyian. Terbersit dalam kekalutan pikirannya kuburan angker di kampungnya dan Lik Darmo bermaksud sembunyi disana.

“Maling…! Maliiing…..!!” suara itu semakin mendekati Lik Darmo.

Sepertinya orang sekampung tumpah ruah mengejar dan berteriak bersahutan. Orang-orang berhamburan kearah lik Darmo, seperti puluhan fans mengejar idolanya, namun kali ini dengan amarah masing-masing. Cahaya lampu senter bersahutan menghantam pepohonan dan rumah warga. Tariannya mengiringi hiruk pikuk warga yang bertebaran di sekitar kuburan.

“Orangnya lari ke selatan, masuk kuburan! Cepat kepung dia!”

”Sialan, mereka tahu tujuanku”, umpat Lik Darmo dalam hati.

Segera ia memutar arah menjauh dari kuburan. Namun baru beberapa langkah kakinya mengayun, seseorang meneriakinya,

”Darmo, mau kemana kamu? Semua orang menuju kuburan kenapa kamu malah lari ke sana?”

Lik Darmo memperlambat larinya, wajahnya tampak kebingungan. Banyak warga yang semula ia pikir mengejarnya tetap berlari menuju kuburan, bahkan ketika berpapasan dengannya. Ia semakin tidak mengerti, sampai kakinya benar-benar berhenti dan semua orang masih berlarian sambil berteriak maling menuju kuburan.

”Kenapa bengong? Ayo cepat ke kuburan, jangan sampai pencurinya kabur...”, seseorang meneriaki sambil berlari.

”Astaghfirullah..! Terima kasih ya Alloh.....!” gumam lik darmo kembali berlari, ia segera bergabung dengan yang lain mengejar maling yang rupanya sudah terpojok dalam angkernya tanah pekuburan.

-=000=-
*  versi Revisi

Marah



-Doel Kangpardi-


Ida, tolong panggilkan Asep, suruh kemari!” pinta Pak Wongso dari dalam ruangannya.

“Iya, Pak, sebentar saya panggilkan,” sahut Ida, sekretaris perusahaan ‘Minta Lama’ sembari beranjak dari tempat duduknya

Bergegas gadis cantik itu mencari orang yang dimaksud si Bos, Wongso Dikromo, ST, karena tak ingin kena semprot lagi. Melihat langkah-langkah lincahnya, tidak salah kalau sekretaris itu dikatakan tomboy dan enerjik. Tentu saja itu didukung pula dengan penampilan yang cenderung maskulin untuk seorang gadis, meskipun jilbab selalu melekat, tak urung juga penilaian itu melekat.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa menemukan Asep, karena gedung kantornya kecil bahkan sekilas mirip rumah tinggal. Yang dimaksud sedang sibuk mencari-cari sesuatu di ruang arsip.

“Sep, dicari Pak Wongso tuh, suruh menghadap.”

“Oh-ya, sebentar saya ke sana,” sahut pemuda berambut klimis itu sembari menata kertas-kertas yang sempat diserakkannya.

Sedikit tergopoh, Asep segera menuju ruang Pak Wongso. Sekilas tampak ekspresi khawatir menempel di wajahnya. Kulit muka kuning langsat itu tampak semburat kemerahan, mempertegas perasaannya.

“Ah, ada apa lagi ini? Jangan-jangan karena seringnya telat nih…” Asep hanya bisa bertanya pada gumamnya.

Sempat mengetuk pintu dua kali, pemuda bertubuh jangkung itu memberanikan diri dengan menarik nafas panjang.

“Permisi, Bapak memanggil saya?”

“Ya, masuk Sep. Silahkan duduk,” jawab Pak Wongso dengan nada datar. Tangannya terlihat sibut mencoret-coret kertas, dan ternyata sedang mengkonsep surat.

“Datang jam berapa tadi?” lanjutnya.

Deg! Wajah Asep kini langsung berubah pucat. Kulit kuning langsatnya terlihat memutih, seolah darahnya enggan mengalir ke wajah.

“Apa maksud Bapak?” dengan nada sedikit menanjak Asep memberanikan bertanya.

“Apakah keterlambatan saya ini menjadi masalah?”

Entah mengapa, tiba-tiba pemuda yang suka dengan warna hitam itu menunjukkan keberanian.

“Saya mengakui Pak, kalau saya sering terlambat dan Bapak selalu datang Jauh lebih pagi. Tapi, apakah Bapak juga selalu menghabiskan jam kerja di kantor?”

Pak Wongso menghentikan tulisannya sebentar, menatap Asep dengan tatapan datar, sejurus kemudian dilanjutkan tulisan itu. Masih dalam diam.

“Maaf Pak, bukannya saya berani dengan Bapak. Selama ini saya selalu pulang jauh lebih lambat dari jam seharusnya. Tapi Bapak? Baru tengah hari lewat sedikit saja sudah pulang. Ke dokterlah, ke sinilah, ke sana…,” makin tinggi nada pemuda pendiam itu bersuara.

“Saya, rekan-rekan di kantor ini, semua juga mahfum dengan Usia Bapak yang sudah kepala enam. Tapi tidak serta merta itu menjadi alasan untuk meninggalkan kami bekerja di sini. Bukan alasan juga bahwa setiap kami ataupun pelanggan ada perlu dengan Bapak pada siang hari harus datang ke rumah!”

Kembali Pak Wongso menjeda kesibukan, kali ini buku agenda yang diraihnya. Tangan kekar yang mulai keriput itu sibuk membolak-balik halaman-halaman agenda, mencari sesuatu.

“Bapak kan juga tahu, kalau keterlambatan saya bukan karena malas? Karena saya juga mencari pelanggan, jemput bola agar lembaga kita bisa bertahan… Yang tidak jemput bola saja dibiarkan, kenapa saya yang dipermasalahkan?”

Ida mengetuk pintu, sekejap didekatinya meja Pak Wongso. Map merah di tangan segera diserahkan.

“Ada e-mail dari Kantor Divre Pak, ini saya cetakkan sekalian untuk arsip,” ucapnya dengan ramah.

“Terima kasih Ida. Oh-ya, sekalian ini tolong diketik. Kalau sudah selesai, bawa lagi kemari, nanti saya koreksi.”

“Iya, Pak, masih ada lagi?”

“Itu saja dulu.”

Sejurus kemudian Ida berlalu ke luar ruangan, kali ini tangannya menenteng selembar kertas konsep surat.

“Kamu sehat Sep? Matamu merah, jangan-jangan kurang istirahat.”

“Sehat, Pak. Terima kasih, saya baik-baik saja,” jawab Asep. Kedua tangannya mengepal, dan semakin keras.

“Begini Sep, tadi dapat telepon dari Kepala Kantor Divre yang intinya beliau mengharap adanya regenerasi kepemimpinan di perusahaan kita. Salah satunya adalah memberi kesempatan pada karyawan karir untuk menempati jabatan strategis. Karena kita di sini sudah lama tidak mempunyai Kepala Seksi, saya memutuskan untuk menempatkanmu di posisi itu. Saya kira tidak sulit, karena selama ini kamu sudah menjadi Supervisor. Toh pekerjaan Kepala Seksi hanya setingkat di atas Supervisor,” terang Pak Wongso.

Gubrak! Serasa kepala Asep tertimpa lukisan dinding yang menempel di belakangnya. Mulutnya terbuka, hanya saja tak satupun kata yang terucap. Pikirannya bercampur aduk antara senang, kaget, khawatir, menyesal, semuanya menyerbu di kepala.

“Aaarrggghhh…, untung saja tadi aku hanya membatin,” kutuk Asep dalam hatinya.

-=selesai=-
Kakimerapi, 11/04/14

yang tak tersisa

oleh: Doel Kangpardi   barangkali dunia mulai kehabisan katakata manakala hendak dongengkan polah pengabdi serakah meski seluruh anak ...