-Doel Kangpardi-
Menjelang tengah
hari, Umi Amira masih di atas ketinting. Gemericik air yang terbelah, menyanyi
riang di gendang telinga menyatu padu dengan suara mesin menderu. Sayang
sekali, suasana tersebut hanya bisa ia nikmati sendiri. Voucher wisata budaya
yang didapat hanya berlaku untuk satu orang. Andai boleh mengajak teman pun tak
berguna, karena suami dan anak-anak terlalu sibuk untuk sekadar meluangkan
waktu, apalagi liburan bersama. Tidak hanya kali ini, momen penanda lima puluh
satu tahun perjalanan hidup harus dilalui seorang diri.
“Ah, mungkin
inilah harga yang harus kubayar untuk kesuksesan suami serta anak-anakku,”
gumam wanita penggemar travelling itu.
Selang tak
berapa lama, empat ketinting rombongan Umi Amira menepi. Tampak beberapa orang
berdiri di bibir sungai menyambut kedatangan tamu-tamu dari kota Samarinda.
Dengan cekatan mereka membantu wisatawan yang turun dari perahu-perahu motor
kecil, dalam balutan sikap ramah serta wajah cerah.
“Selamat datang
Bapak dan Ibu sekalian, silakan untuk bersantai sejenak sebelum melanjutkan
perjalanan wisata budaya ini,” ucap seorang Tour Guide sembari mengarahkan
rombongan menuju tempat transit.
Keberadaan Umi
Amira dalam wisata budaya tidak lain karena hobi menulis yang ditekuni wanita
pecinta bunga mawar itu. Meski harus berangkat di hari jadi tanpa ditemani
keluarga maupun kerabat, tak menjadikan semangatnya padam. Kesempatan mengenal
salah satu budaya suku asli Indonesia menjadi dorongan yang luar biasa.
Suku Dayak Kenyah,
begitulah tour guide menyebutkan lokasi saat mengawali panduannya dalam wisata
kali ini.
“Bangunan ini
disebut Uma Da’du atau Lamin, yaitu rumah asli peninggalan Dayak Kenyah yang
masih utuh. Rumah adat ini dibuat dari kayu ulin, dan beratap sirap,” dengan
runtut pemandu itu bercerita.
[Lamin dihiasi
lukisan daun paku simetris dengan aneka warna. Bentuk tersebut sebagian
menyerupai tato di tangan kaum wanitanya], Umi Amira dengan seksama mencatat.
Dalam benak langsung mereka-reka sebentuk tulisan, tentu saja dengan latar dan
isi sesuai catatan-catatannya.
[Kaum wanita
suku Dayak Kenyah terkenal cantik-cantik, berkulit putih. Kecuali bertato,
mereka juga dapat dikenali dengan saratnya anting gelang ditelinga.
Masyarakatnya juga dikenal mahir membuat manik-manik dan pemahat handal patung
Totem.]
Melirik jam
tangan, “baiklah Bapak Ibu sekalian, tiba saatnya untuk istirahat dan makan
siang. Setelah ini, tepatnya jam 14.00 WITA akan ada sebuah pertunjukan untuk
mengakhiri wisata hari ini. Silakan menuju rumah makan di ujung jalan,
sekaligus yang hendak menunaikan ibadah shalat, kami sediakan Mushalla di
dekatnya,” terang si pemandu.
Selesai
istirahat dan makan siang, selanjutnya rombongan menuju desa Long Bagun.
Menurut panduan, mestinya akan ada dua penampilan tari tradisional, tarian yang
biasa disajikan pada acara khusus semisal pesta perkawinan. Sebenarnya ada juga
satu desa lain yang biasanya menyajikannya, yaitu desa Long Iram. Namun dengan
berbagai pertimbangan hanya dipilih salah satu saja.
Benar saja,
sesampai di desa Long Bagun rombongan disambut dengan tarian Burung Enggang.
Umi Amira beserta yang lain menunjukkan wajah-wajah ceria. Sembari mencari
tempat yang paling nyaman, tidak sedikit peserta wisata yang beraksi dengan
kamera masing-masing, tidak ingin kehilangan momen.
“Sebelum
penampilan kedua, kami mohon kesediaan Ibu Amira untuk bergabung dengan saya di
sini,” tanpa disangka, pemandu wisata memanggil Umi Amira.
“Ah, ada apa
ini?” Umi Amira hanya membatin seraya melangkahkan kaki dengan ragu menuju
pemandu wisata berdiri.
Wajah yang biasanya ceria itu menyiratkan kebingungan. Tak ayal, langkah kaki terayun juga, bersanding dengan seribu tanya. Di sela langkah, tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenalnya
“Mohon antensinya sebentar, Bapak dan Ibu sekalian, baru saja saya dapat kabar ada di antara kita yang kehilangan sesuatu. Dan ini ada hubungannya dengan Ibu di samping saya ini.”
Deg …!
Seketika wajah
perempuan itu memucat, mulut sedikit terngaga mengekspresikan ketidak
percayaan.
“A-ada apa ini? A-a-apa yang telah saya lakukan?” Ucapnya menjadi terbata di antara bingung, takut dan marah karena merasa tidak melakukan hal yang salah.
“A-ada apa ini? A-a-apa yang telah saya lakukan?” Ucapnya menjadi terbata di antara bingung, takut dan marah karena merasa tidak melakukan hal yang salah.
Belum genap
senafas ditariknya, secara tiba-tiba,
“[Dan Hari Tak Pernah Mati
Denting
Detak hari menyorak
Detak hari menyorak
Sambut bah’gia
himpun semarak
Memeluk hati
merengkuh sanak, pun sepinak
Menghitung haru
berbalut waktu-waktu, lima puluh satu
Cinta birumu
merengkuh segala rindu, menderu setiap langkah syahdu
Sedan?
Tak perlu kau hirau, pun merisau; selebihnya tak perlu igau
Ijinkan mimpi
setia menari, menggoda mentari setiap pagi]”
Mendadak
terhenyak, ya—ia sadar bahwa hari ini telah kehilangan setahun lagi—setelah
lima puluh tahun
mengarungi hidup. Lima puluh satu tahun sudah berlalu dari hidupnya—hilang.
Hatinya
bersorak, sangat yakin bahwa suara itu tidak lain adalah Attar, putra kedua Umi
Amira. Dan benar, begitu membalikkan tubuh, dilihatnya sang putra mendekat.
Tangan kanannya memegang pengeras suara dan di tangan kiri seikat bunga.
Berturut turut di belakangnya Abi Wongso sang suami tercinta, Abdul sang anak
sulung serta Rahma si bungsu.
Umi Amira masih
terdiam dengan mulut menganga, seolah tak percaya. Sekali dikucek matanya,
memastikan ini bukan mimpi, ya—ini benar-benar bukan mimpi.
-=selesai=-
Kakimerapi,
18/04/14
*revisi 19/04/14,
29/04/14










