Minggu, 11 Mei 2014
Nalikane rasa kasusur basa
-Wongso Katelu , Doel Kangpardi-
Nalikane rasa kasusur basa
culika hamung lathi kinebak ing angkara ginambar ing karya agawe cidraning donya
Kaki ..., kaki
nora sithik janma cukat
nora sithik manungsa trampil
panggaweane nempil
semanding ing pranatan kang mripil
kiwa tengen jinawil
hanyengkuyung rupa-rupa methakil
Nalikane rasa kasusur basa
aaahh ...,
prawira ...!
satriya ...!
sakjane sliramu kui sapa ...?
Kakimerapi, 24/04/14
MENJELANG TENGAH MALAM, MATA ENGGAN TERPEJAM
-Doel
Kangpardi-
Serupa lilin
menghapus
malam menerang taram; ‘tak
jejakmu
bayang bergoyang digunjing angin
Meremuk
tulang mendebu hilang
hapuskan
raga mewaris nama tak bertanda
tanpa tahta
meraja warna
memimpin
hitam serupa malam
Serupa lilin
tak menjaga
penjaga (rasa) menguda rasa
menyerah
diri tunaikan janji dampingi sepi
Kakimerapi,
04/05/14
Selasa, 29 April 2014
HARI TAK 'KAN MATI*
-Doel Kangpardi-
Menjelang tengah
hari, Umi Amira masih di atas ketinting. Gemericik air yang terbelah, menyanyi
riang di gendang telinga menyatu padu dengan suara mesin menderu. Sayang
sekali, suasana tersebut hanya bisa ia nikmati sendiri. Voucher wisata budaya
yang didapat hanya berlaku untuk satu orang. Andai boleh mengajak teman pun tak
berguna, karena suami dan anak-anak terlalu sibuk untuk sekadar meluangkan
waktu, apalagi liburan bersama. Tidak hanya kali ini, momen penanda lima puluh
satu tahun perjalanan hidup harus dilalui seorang diri.
“Ah, mungkin
inilah harga yang harus kubayar untuk kesuksesan suami serta anak-anakku,”
gumam wanita penggemar travelling itu.
Selang tak
berapa lama, empat ketinting rombongan Umi Amira menepi. Tampak beberapa orang
berdiri di bibir sungai menyambut kedatangan tamu-tamu dari kota Samarinda.
Dengan cekatan mereka membantu wisatawan yang turun dari perahu-perahu motor
kecil, dalam balutan sikap ramah serta wajah cerah.
“Selamat datang
Bapak dan Ibu sekalian, silakan untuk bersantai sejenak sebelum melanjutkan
perjalanan wisata budaya ini,” ucap seorang Tour Guide sembari mengarahkan
rombongan menuju tempat transit.
Keberadaan Umi
Amira dalam wisata budaya tidak lain karena hobi menulis yang ditekuni wanita
pecinta bunga mawar itu. Meski harus berangkat di hari jadi tanpa ditemani
keluarga maupun kerabat, tak menjadikan semangatnya padam. Kesempatan mengenal
salah satu budaya suku asli Indonesia menjadi dorongan yang luar biasa.
Suku Dayak Kenyah,
begitulah tour guide menyebutkan lokasi saat mengawali panduannya dalam wisata
kali ini.
“Bangunan ini
disebut Uma Da’du atau Lamin, yaitu rumah asli peninggalan Dayak Kenyah yang
masih utuh. Rumah adat ini dibuat dari kayu ulin, dan beratap sirap,” dengan
runtut pemandu itu bercerita.
[Lamin dihiasi
lukisan daun paku simetris dengan aneka warna. Bentuk tersebut sebagian
menyerupai tato di tangan kaum wanitanya], Umi Amira dengan seksama mencatat.
Dalam benak langsung mereka-reka sebentuk tulisan, tentu saja dengan latar dan
isi sesuai catatan-catatannya.
[Kaum wanita
suku Dayak Kenyah terkenal cantik-cantik, berkulit putih. Kecuali bertato,
mereka juga dapat dikenali dengan saratnya anting gelang ditelinga.
Masyarakatnya juga dikenal mahir membuat manik-manik dan pemahat handal patung
Totem.]
Melirik jam
tangan, “baiklah Bapak Ibu sekalian, tiba saatnya untuk istirahat dan makan
siang. Setelah ini, tepatnya jam 14.00 WITA akan ada sebuah pertunjukan untuk
mengakhiri wisata hari ini. Silakan menuju rumah makan di ujung jalan,
sekaligus yang hendak menunaikan ibadah shalat, kami sediakan Mushalla di
dekatnya,” terang si pemandu.
Selesai
istirahat dan makan siang, selanjutnya rombongan menuju desa Long Bagun.
Menurut panduan, mestinya akan ada dua penampilan tari tradisional, tarian yang
biasa disajikan pada acara khusus semisal pesta perkawinan. Sebenarnya ada juga
satu desa lain yang biasanya menyajikannya, yaitu desa Long Iram. Namun dengan
berbagai pertimbangan hanya dipilih salah satu saja.
Benar saja,
sesampai di desa Long Bagun rombongan disambut dengan tarian Burung Enggang.
Umi Amira beserta yang lain menunjukkan wajah-wajah ceria. Sembari mencari
tempat yang paling nyaman, tidak sedikit peserta wisata yang beraksi dengan
kamera masing-masing, tidak ingin kehilangan momen.
“Sebelum
penampilan kedua, kami mohon kesediaan Ibu Amira untuk bergabung dengan saya di
sini,” tanpa disangka, pemandu wisata memanggil Umi Amira.
“Ah, ada apa
ini?” Umi Amira hanya membatin seraya melangkahkan kaki dengan ragu menuju
pemandu wisata berdiri.
Wajah yang biasanya ceria itu menyiratkan kebingungan. Tak ayal, langkah kaki terayun juga, bersanding dengan seribu tanya. Di sela langkah, tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenalnya
“Mohon antensinya sebentar, Bapak dan Ibu sekalian, baru saja saya dapat kabar ada di antara kita yang kehilangan sesuatu. Dan ini ada hubungannya dengan Ibu di samping saya ini.”
Deg …!
Seketika wajah
perempuan itu memucat, mulut sedikit terngaga mengekspresikan ketidak
percayaan.
“A-ada apa ini? A-a-apa yang telah saya lakukan?” Ucapnya menjadi terbata di antara bingung, takut dan marah karena merasa tidak melakukan hal yang salah.
“A-ada apa ini? A-a-apa yang telah saya lakukan?” Ucapnya menjadi terbata di antara bingung, takut dan marah karena merasa tidak melakukan hal yang salah.
Belum genap
senafas ditariknya, secara tiba-tiba,
“[Dan Hari Tak Pernah Mati
Denting
Detak hari menyorak
Detak hari menyorak
Sambut bah’gia
himpun semarak
Memeluk hati
merengkuh sanak, pun sepinak
Menghitung haru
berbalut waktu-waktu, lima puluh satu
Cinta birumu
merengkuh segala rindu, menderu setiap langkah syahdu
Sedan?
Tak perlu kau hirau, pun merisau; selebihnya tak perlu igau
Ijinkan mimpi
setia menari, menggoda mentari setiap pagi]”
Mendadak
terhenyak, ya—ia sadar bahwa hari ini telah kehilangan setahun lagi—setelah
lima puluh tahun
mengarungi hidup. Lima puluh satu tahun sudah berlalu dari hidupnya—hilang.
Hatinya
bersorak, sangat yakin bahwa suara itu tidak lain adalah Attar, putra kedua Umi
Amira. Dan benar, begitu membalikkan tubuh, dilihatnya sang putra mendekat.
Tangan kanannya memegang pengeras suara dan di tangan kiri seikat bunga.
Berturut turut di belakangnya Abi Wongso sang suami tercinta, Abdul sang anak
sulung serta Rahma si bungsu.
Umi Amira masih
terdiam dengan mulut menganga, seolah tak percaya. Sekali dikucek matanya,
memastikan ini bukan mimpi, ya—ini benar-benar bukan mimpi.
-=selesai=-
Kakimerapi,
18/04/14
*revisi 19/04/14,
29/04/14
Jumat, 18 April 2014
Ku Nanti Kembalimu
Oleh: Doel Kangpardi
Kecut terasa menyesak dada
Angankan hadirmu menutup luka
Memompa asa
Berbagi kesah pun rasa
Tinggal mimpiku apalah daya
nikmat senyummu kembali terangan
sapa sayangmu membayang kenangan
lembut belaimu menggidik bayangan
menjaring kisah
hentikan langkah
kenapa waktu masih saja berlalu
menderu kalbu
mengigau rindu
memendam dendam
membungkam diam
menjauh
dalam dekapmu kau simpan sauh
dalam dekapmu terjaga diri,
sejati
dalam dekapmu tersimpan nurani
dalam pergimu ku nikmati suka
kini
dalam kenangmu ku nikmati duka
satu ruangku hampa terasa
satu sudutku perih tercipta
bingung
dalam limbung ku nikmati bingung
dalam bimbang ku lelah menimbang
bingung
nurani terkubur linglung
tanpa hadirmu ku ukir hampa
tiada rasa
tanpa cerita
tanpa hadirmu kelu geliatku
tanpa hadirmu, tiada kuasa berasa
kan ku buka peluk
kan ku sambut sauh
kan ku rengkuh meski jauh
kan ku urai tali teringkuk
kan ku nanti kembalimu terlabuh
kusadar kini
hadirmu membuncah arti
hadirmu melabuhkan teduh
hadirmu, semangat kan penuh
hadirmu? Bayangan pun tinggal separuh
sejatimu begitu terbekas
guratanmu tersembul
jelas
kau tinggalkan nuraniku dalam kebas
untuk ‘sahabat’ yang terlipat sekarat,Kakimerapi, 5 maret 2014
Selasa, 15 April 2014
Petir*
Oleh: Doel Kangpardi
“Ah, sial! Tinggal finishing kenapa turun hujan?“ gumam Ali sembari memandang titik-titik hujan menyerbu halaman.
Tangannya menggenggam segulung kabel DX ukuran 2x16 mm², berdiri termangu di teras. Sesaat badannya membungkuk sembari menengadahkan wajah, menyelidik ke ujung tiang listrik. Rona wajah berkulit sawo matang itu menyiratkan kecewa, dan menilik gestur tubuh, memperlihatkan putus asa. Kalau pekerjaan tidak selesai hari ini berarti harus dilakukan esok hari. Dan itu berarti kerugian, karena waktunya akan habis terbuang untuk pulang dan balik lagi hanya untuk menyelesaikan sambungan rumah itu. Ditambah lagi, lokasinya saat ini cukup terpencil dan tidak mudah dijangkau.
Gerimis masih menyelimuti hari, dan Ali meniti satu demi satu anak tangga menuju puncak tiang listrik. Tenggat waktu harus dikejarnya, agar tidak dua kali kerja. Sesampai di ujung tangga, sejenak ia edarkan pandangan sekedar menikmati jatuhan rintik hujan. Ali menarik napas dalam-dalam, sembari mengeluarkan tang kombinasi dari sabuk peralatan. Dengan sangat hati-hati diraihnya ujung kabel kemudian diarahkan pada titik sambungan dengan tangan kiri.
“Hati-hati mas, jangan sampai salah pegang!” teriak Ibud dari bawah bernada penuh kekhawatiran.
Ali tidak menyahut, konsentrasinya terpusat pada pekerjaan.
“Baiklah, semakin cepat ku kerjakan semakin cepat pula ini akan berakhir, ” gumam pria jangkung itu sembari menarik nafas dalam-dalam.
Kembali diarahkannya kabel di tangan kiri menuju titik sadap JTR. Belum lagi kabel itu menyentuh titik sambungan, tiba-tiba,
“ Jedarrr…!”.
Reflek langsung bereaksi, ditariknya tangan kiri menjauhkan kabel dari jaringan listrik sembari menundukkan kepala. Jantungnya berdegup sangat kencang, kedua tanganpun gemetar, terkejut bukan main. Belum sempat ia mencari tahu apa yang terjadi, kembali terdengar,
“Jedarrr…!”
Kepalanya kembali tertunduk, suara ledakan itu terasa sangat dekat dengan telinga. Setelah beberapa saat tidak terjadi apa-apa, Ali memberanikan diri untuk melihat keadaan sekitar. Belum genap menengok, ia tersentak kaget. Tenggorokannya tercekat, seluruh tubuh terasa kaku, kepala terasa berat, dan pandangan seketika gelap. Beruntung sabuk pengaman masih terikat, dan tiang listrik masih kokoh menahan gempal itu. Di bawah, terlihat Ibud tergeletak dengan tubuh seperti terpanggang, gosong. Tak dinyana, suara petir yang kedua ternyata mengenai temannya.
-=selesai=-
*versi revisi,
“Ah, sial! Tinggal finishing kenapa turun hujan?“ gumam Ali sembari memandang titik-titik hujan menyerbu halaman.
Tangannya menggenggam segulung kabel DX ukuran 2x16 mm², berdiri termangu di teras. Sesaat badannya membungkuk sembari menengadahkan wajah, menyelidik ke ujung tiang listrik. Rona wajah berkulit sawo matang itu menyiratkan kecewa, dan menilik gestur tubuh, memperlihatkan putus asa. Kalau pekerjaan tidak selesai hari ini berarti harus dilakukan esok hari. Dan itu berarti kerugian, karena waktunya akan habis terbuang untuk pulang dan balik lagi hanya untuk menyelesaikan sambungan rumah itu. Ditambah lagi, lokasinya saat ini cukup terpencil dan tidak mudah dijangkau.
Gerimis masih menyelimuti hari, dan Ali meniti satu demi satu anak tangga menuju puncak tiang listrik. Tenggat waktu harus dikejarnya, agar tidak dua kali kerja. Sesampai di ujung tangga, sejenak ia edarkan pandangan sekedar menikmati jatuhan rintik hujan. Ali menarik napas dalam-dalam, sembari mengeluarkan tang kombinasi dari sabuk peralatan. Dengan sangat hati-hati diraihnya ujung kabel kemudian diarahkan pada titik sambungan dengan tangan kiri.
“Hati-hati mas, jangan sampai salah pegang!” teriak Ibud dari bawah bernada penuh kekhawatiran.
Ali tidak menyahut, konsentrasinya terpusat pada pekerjaan.
“Baiklah, semakin cepat ku kerjakan semakin cepat pula ini akan berakhir, ” gumam pria jangkung itu sembari menarik nafas dalam-dalam.
Kembali diarahkannya kabel di tangan kiri menuju titik sadap JTR. Belum lagi kabel itu menyentuh titik sambungan, tiba-tiba,
“ Jedarrr…!”.
Reflek langsung bereaksi, ditariknya tangan kiri menjauhkan kabel dari jaringan listrik sembari menundukkan kepala. Jantungnya berdegup sangat kencang, kedua tanganpun gemetar, terkejut bukan main. Belum sempat ia mencari tahu apa yang terjadi, kembali terdengar,
“Jedarrr…!”
Kepalanya kembali tertunduk, suara ledakan itu terasa sangat dekat dengan telinga. Setelah beberapa saat tidak terjadi apa-apa, Ali memberanikan diri untuk melihat keadaan sekitar. Belum genap menengok, ia tersentak kaget. Tenggorokannya tercekat, seluruh tubuh terasa kaku, kepala terasa berat, dan pandangan seketika gelap. Beruntung sabuk pengaman masih terikat, dan tiang listrik masih kokoh menahan gempal itu. Di bawah, terlihat Ibud tergeletak dengan tubuh seperti terpanggang, gosong. Tak dinyana, suara petir yang kedua ternyata mengenai temannya.
-=selesai=-
*versi revisi,
Minggu, 13 April 2014
Maling*
“Maling…! Maliiing…!!”
“Orangnya lari ke selatan, masuk kuburan! Cepat kepung dia!”
Orang-orang berlarian, cahaya lampu senter menari-nari menghantam
pepohonan dan rumah warga. Tariannya mengiringi hiruk pikuk warga yang
bertebaran di sekitar kuburan. Tanpa tahu persis siapa jadi komandan
semua warga langsung membentuk lingkaran, meski tak sebundar bulan
purnama yang beberapa malam lalu telah lewat, mengepung rapat tanah
pekuburan. Masih terdengar bunyi kentongan bertalu, tanpa kenal lelah
berteriak memecah malam di sela-sela teriakan warga.
“Jangan sampai lolos…!”
“Dia masuk cungkup! Dia masuk cungkup!” masih terdengar suara-suara bersahutan saling mengarahkan.
Kepungan warga semakin rapat dan tanah pekuburan tanpa pagar itu penuh
dengan warga yang marah. Dinginnya malam seolah hilang tertelan amarah
dan keringat. Kepungan semakin menciut, dan semua orang mengarah pada
satu-satunya cungkup yang tampak berdiri kokoh diantara batu nisan.
Cungkup keramat itu, yang selama ini ditakuti warga, seketika menjadi
medan pertempuran warga. Meskipun musuh mereka hanya satu orang, dan
berpuluh-puluh warga bersemangat ingin menghabisinya.
***
Adalah lik Darmo, buruh tani yang hidup dari tetesan keringat di sawah
para tuan tanah. Ayah dari dua anak yang masih balita, namun wajahnya
tampak jauh lebih tua dari umurnya. Kerutan wajah menyiratkan keletihan,
dengan kulit hitam menggambarkan panasnya terik matahari di tengah
persawahan, legam. Suami dari wanita yang tak lagi begitu sabar menunggu
datangnya cahaya di hari-hari gelap ekonomi keluarganya.
Ramadhan
telah lewat purnama beberapa hari, dan lik Darmo masih setia pada
kesabarannya menanti permintaan untuk bekerja. Keahliannya tidak jauh
dari kedua orang tuanya, bertani, setelah beberapa tahun lewat ia di PHK
dari perusahaan tempatnya menggantungkan hidup. Hanya saja, lelaki yang
kian nampak renta itu tak seberuntung petani-petani lain dikampungnya.
Sepetak sawahnya tak cukup memberi pilihan untuk menghidupi keluarga
berencana yang diikutinya sejak dua tahun lalu.
“Pakne, mbok ya
ndang piye gitu lho!” ucap istrinya dengan gusar, “apa ndak kasihan
sama Letri dan Sino? Lebaran sudah dekat dan kita belum bisa beli baju
baru buat mereka. ”
“Mau gimana lagi to Bune? Kamu tahu sendiri
to, padi kita mratak wae belum,” lik Darmo meminta pemakluman istrinya,
“lagi musim paceklik gini, ndak ada orang yang butuh tenagaku. Sing
sabar to Bune…nanti lakyo ada rejeki.”
“Sampe kapan Pakne? Mbok yo usaha gitu, pinjam sama mas Karjo kae lho, atau sama yang laen…”
“Isin Bune…, hutang kita saja belum lunas kok! ”
“Tapi Lebaran semakin dekat, Pakne! Toples-toples juga masih kosong.
Memangnya pantes, toples-toples kita diisi kerikil untuk nyuguh tamu?”
Terdengar adzan Isya dari Musholla. Lik Darmo nampak membetulkan kain
sarungnya sambil meladeni istrinya yang masih saja grundelan .
“Aku mau ke Musholla dulu, sholat Isya. Kamu ndak ikut Bune?”
“Hallah! Sholat terus yang dipikir, mbok ya anake itu dipikirkan! Tiap hari sholat, nyatanya kita masih juga miskin…”
“Astaghfirulloh… nyebut Bune, eling! Sudah, aku berangkat dulu, assalamu’alaikum.”
Lik Darmo segera berlalu, langkahnya agak tergesa. Tak ingin ia
ketinggalan sholat Isya dan Tarawih yang sudah setangah Ramadhan lebih
ia jalani tanpa putus.
Selesai Tarawih lik Darmo tidak langsung
pulang. Bersama beberapa jamaah lainnya, mereka bertadarus AlQuran di
Musholla hingga mendekati tengah malam. Begitu tadarus selesai, lik
Darmo segera mengayunkan kakinya meninggalkan Musholla, sendirian. Malam
begitu dingin, seperti malam-malam sebelumnya di musim kemarau. Tubuh
kurus itu berjalan sedikit gontai, seolah tak ada semangat untuk segera
pulang menantikan sahur mengawali hari keesokannya.
Lik darmo
melamun, tidak menyadari kaki melangkah membawa tubuh menjauh, bukan
menuju rumah. Melewati lorong-lorong kampung yang senyap, remang oleh
cahaya rembulan sisa purnama beberapa malam lalu. Pikiran Lik Darmo
menerawang, teringat kata-kata istrinya. Benar juga pikirnya, meskipun
dicobanya untuk bisa bersabar, namun gundah hati masih saja terasa. Tak
tega rasanya melihat kedua buah hatinya tak berbaju baru di lebaran
nanti. Tak terbayangkan pula jika tetangga dan kerabatnya datang
silaturahmi, tak ada suguhan tersedia untuk menjamu.
“Krrruuuukkkk…..! Krrruuuuukkkk….!”
Sesuatu bersuara di atas dahan pohon rambutan. Lik Darmo menghentikan langkahnya, menengok kiri dan kanan, sepi.
“Hmmm, belum saatnya sahur, orang-orang pasti sedang tidur,” pikir Lik Darmo “para peronda juga belum keliling kampong.”
Lik Darmo yakin, suara yang didengarnya tadi adalah ayam yang ada di
pohon rambutan. Ia berani memastikan, kalau ayam tersebut milik Mas
Karjo, juragan sayur yang baik hati.
“Tak mengapa kalau aku
ambil seekor ayamnya,” bisik Lik Darmo pada dirinya sendiri, “toh Mas
karjo juga ndak akan plego kalau ayamnya berkurang seekor. Aku yakin
Mas Karjo akan merelakannya.”
Segera Lik Darmo melepas kain
sarungnya, kemudian mengikatkannya di kepala layaknya ninja yang hendak
bertempur. Hanya saja di punggung Lik Darmo tidak terlihat gagang
samurai seperti milik Hatori. Ia bersiap mendekati pohon rambutan di
tepi pekarangan luas milik Mas Karjo. Jantungnya berdegub lebih kencang,
mendahului keinginan Lik Darmo untuk segera menyelesaikan misinya.
Tangan kurus hampir tak berdaging itu sudah menyentuh pohon, kepalanya
kembali tengok kiri kanan layaknya orang hendak menyeberang jalan dan
memastikan tak ada yang lewat.
“Darmo, jangan nekat kamu!”
Lik Darmo mematung, suara itu menempel di gendang telinga kanan, mengagetkannya.
“Ndak apa-apa Mo…, teruskan saja, ambil ayam itu!” satu lagi suara,
namun kali ini terdengar dari kiri, mendukung Lik Darmo meneruskan
niatnya.
“Eling Mo, nyebut! Ayam itu bukan hak kamu. Apa ndak
eman-eman dengan ibadahmu selama ini? Kamu akan menodai ibadahmu di
bulan suci.”
“Hallah, tenang saja Mo, masih banyak waktu untuk
bertobat, tahun depan masih ada Ramadhan. Sekali ini saja! Ingat
anak-anakmu belum punya baju baru….”
“Jangan Darmo, apa kamu yakin masih punya waktu bertobat setelah ini? Apa kamu yakin umurmu sampai Ramadhan tahun depan?”
“Tapi toples-toples dalam lemarimu masih kosong Mo, belum terisi. Ndak
malu kalau nanti juga ndak bisa bayar zakat? Jangan lupa kata pak kyai,
bukankah ada juga perintah untuk mengambil sebagian harta orang-orang
kaya untuk diberikan pada yang miskin? Hitung-hitung kamu mengambil
bagian dari zakatnya Mas Karjo”
“Istighfar Darmo! Istighfar...!
masih banyak cara lain yang bisa kamu pilih, masih banyak jalan lain
yang bisa kamu lalui, dan yang pasti bukan yang ini.”
“Ayolah
Darmo! Mantapkan hatimu, sekarang yang penting dapat duit. Untuk beli
baju anak-anakmu, untuk beli beras zakat fitrah, untuk membeli makanan
agar tertutupi rasa malumu jika sedulur-sedulurmu datang dan harus
disuguhi makanan, bukan toples kosong.”
Lik Darmo nampak termangu
sesaat, namun tak urung juga ia memanjat dahan rambutan itu. Beruntung
incarannya ada tidak jauh dari dahan pertama dipanjatnya. Hati-hati
sekali didekatinya ayam itu, sampai yakin betul akan bisa menangkapnya
dengan sekali raih. Namun belum sempat lik Darmo mengulurkan tangannya,
tiba-tiba....
“Maling…! Maling…! Maling…!”
Terdengar
teriakan dari kejauhan, disambut seruan-seruan serupa dari arah lain.
Lik Darmo kaget bukan main, dan tanpa pikir panjang segera ia melompat
turun dari pohon dan,
“ Gedebukkkk…!”
Segera ia bangkit
dan lari sekencang-kencangnya mencari tempat persembunyian. Terbersit
dalam kekalutan pikirannya kuburan angker di kampungnya dan Lik Darmo
bermaksud sembunyi disana.
“Maling…! Maliiing…..!!” suara itu semakin mendekati Lik Darmo.
Sepertinya orang sekampung tumpah ruah mengejar dan berteriak
bersahutan. Orang-orang berhamburan kearah lik Darmo, seperti puluhan
fans mengejar idolanya, namun kali ini dengan amarah masing-masing.
Cahaya lampu senter bersahutan menghantam pepohonan dan rumah warga.
Tariannya mengiringi hiruk pikuk warga yang bertebaran di sekitar
kuburan.
“Orangnya lari ke selatan, masuk kuburan! Cepat kepung dia!”
”Sialan, mereka tahu tujuanku”, umpat Lik Darmo dalam hati.
Segera ia memutar arah menjauh dari kuburan. Namun baru beberapa langkah kakinya mengayun, seseorang meneriakinya,
”Darmo, mau kemana kamu? Semua orang menuju kuburan kenapa kamu malah lari ke sana?”
Lik Darmo memperlambat larinya, wajahnya tampak kebingungan. Banyak
warga yang semula ia pikir mengejarnya tetap berlari menuju kuburan,
bahkan ketika berpapasan dengannya. Ia semakin tidak mengerti, sampai
kakinya benar-benar berhenti dan semua orang masih berlarian sambil
berteriak maling menuju kuburan.
”Kenapa bengong? Ayo cepat ke kuburan, jangan sampai pencurinya kabur...”, seseorang meneriaki sambil berlari.
”Astaghfirullah..! Terima kasih ya Alloh.....!” gumam lik darmo kembali
berlari, ia segera bergabung dengan yang lain mengejar maling yang
rupanya sudah terpojok dalam angkernya tanah pekuburan.
-=000=-
* versi Revisi
Langganan:
Komentar (Atom)
yang tak tersisa
oleh: Doel Kangpardi barangkali dunia mulai kehabisan katakata manakala hendak dongengkan polah pengabdi serakah meski seluruh anak ...
-
-Wongso Katelu , Doel Kangpardi- Nalikane rasa kasusur basa culika hamung lathi kinebak ing angkara ginambar ing karya agawe c...

